RSS Feed

Dekrit Sultan HB IX

Posted by OJRAT MUGIYONO Label: , ,

KAMI HAMENGKU BUWONO IX, SULTAN NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENJATAKAN:

1. BAHWA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT JANG BERSIFAT KERADJAAN ADALAH DAERAH ISTIMEWA DARI NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

2. BAHWA KAMI SEBAGAI KEPALA DAERAH MEMEGANG SEGALA KEKUASAAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, DAN OLEH KARENA ITU BERHUBUNG DENGAN KEADAAN DEWASA INI, SEGALA URUSAN PEMERINTAHAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MULAI SAAT INI BERADA DITANGAN KAMI DAN KEKUASAAN-KEKUASAAN LAINNJA KAMI PEGANG SELURUHNJA.

3. BAHWA, PERHUBUNGAN ANTARA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT DENGAN PEMERINTAH PUSAT REPUBLIK INDONESIA BERSIFAT LANGSUNG DAN KAMI BERTANGGUNG-DJAWAB ATAS NEGERI KAMI LANGSUNG KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

KAMI MEMERINTAHKAN SUPAJA SEGENAP PENDUDUK DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENGINDAHKAN AMANAT KAMI INI.

NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, 28 PUASA, EHE 1976 (5 SEPTEMBER 1945).

HAMENGKU BUWONO

WELCOME TO KERATON

Posted by OJRAT MUGIYONO Label: , ,

BIAR NGGAK LUPA KENAPA ISTIMEWA (Bagian I)

Posted by OJRAT MUGIYONO

Keraton Yogyakarta sudah berstatus Daerah Istimewa  jauh sebelum Indonesia merdeka. Yogyakarta diberi status Negara Bagian, bukan wilayah jajahan atau daerah taklukan, oleh: 

1. Kolonialisme VOC,
2. Kolonialisme Hindia Perancis (di bawah Kerajaan Perancis),
3. Kolonialisme Hindia Timur (di bawah Kerajaan Inggris),
4. Kolonialisme Hindia Belanda (di bawah Kerajaan Belanda), dan
5. Angkatan Darat XVI Jepang (di bawah Kekaisaran Jepang ).

Oleh Belanda, status Daerah Istimewa itu disebut Zelfbestuurende Lanschappen, dan oleh Jepang disebut Koti (Kooti). Sejak Indonesia diproklamasikan merdeka pada 1945, merespon kekalahan Jepang di PD II,  tentara kolonial Belanda datang untuk berusaha mengambil kembali wilayah yang secara politik dan militer pernah dikuasainya dulu, sebelum dipukul mundur Jepang.  Pada saat Belanda dipukul mundur Jepang, Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta masih bersatusVoorstenlanden (wilayah di luar kekuasaan Hindia Belanda), dan status itu tidak diganggu gugat oleh Angkatan Darat XVI Jepang atas perintah Kaisarnya. Ketika kalah di PD II pun Angkatan Darat XVI Jepang menyerahkan diri dan melucuti persenjataannya bukan ke Belanda, apalagi Indonesia, tapi ke Raja Yogyakarta (HB IX).Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta,  baru diakui dunia lewat PBB setelah kekuatan diplomasi dan hubungan internasional Sultan HB IX mampu menekan pemerintahan kolonial. Konsekuensi dari pengakuan dunia itu adalah penarikan mundur tentara kolonial Belanda dari Kerajaan Yogyakarta.

Bertolak belakang dengan saudaranya di Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan), di mata pemerintahan kolonial Belanda sepanjang sejarahnya, Yogyakarta dipandang sebagai Kerajaan miskin yang lebih banyak melahirkan perang pemberontakan ketimbang karya sastera dan perdagangan. Insiden Ontowiryo (Pangeran Diponegoro, putra sulung Sultan HB III), misalnya, menghasilkan perang besar di Tanah Jawa selama lima tahun (1825 – 1830)  melawan kolonial Belanda. Berdirinya Keraton Yogyakarta itu sendiri (lewat Perjanjian Giyanti 1755) adalah hasil pemberontakan fisik Sultan HB I terhadap kolonial sehingga eksistensi Keraton itu sendiri adalah simbol perang fisik anti kolonialisme. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Keraton Yogyakarta lebih suka mewarisi semangat perang anti kolonial dari leluhurnya, Sultan Agung, lebih memilih jalur perang fisik, ketimbang lewat kesusasteraan; berbeda dengan para saudaranya di Surakarta yang menghabiskan waktunya untuk berdagang dan memproduksi banyak karya sastra besar. Mangkunegaran menghasilkan karya sastra besar di era Mangkunegara IV dan VI (Wulangreh dan Serat Kalathida misalnya), dan wilayah Kasunanan di era Pakubuwono X kaya raya karena menguasai perdagangan gula saat itu.

Konsisten dengan karakter anti kolonial yang melahirkan Kerajaan Yogyakarta, Sultan HB IX, sejak awal penobatannya, telah dengan terang benderang menunjukkan sikap pro republiken kepada Belanda, dan puncaknya adalah ketika wilayah Kerajaan Yogyakarta dipinjamkan kepada Soekarno-Hatta untuk dijadikan Ibu Kota Republik Indonesia, dipersilahkan menempati Gedung Negara untuk dijadikan Istana Negara.

Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) berkata di Metro TV:
“Sultan HB IX merogoh kantong pribadinya 5 juta gulden untuk mengongkosi biaya operasional selama Yogyakarta dijadikan Ibukota Republik Indonesia, untuk ongkos perang dan diplomasi politik, dan menyantuni keluarga Soekarno ketika Soekarno-Hatta ditangkap Belanda. Itu belum termasuk fasilitas yang sekarang disebut milik pemerintah, misalnya Universitas Gadjah Mada. Jangan lupa, sebelum Kerajaan Yogyakarta ini berintegrasi kan seluruh tanah di Yogya ini milik Sultan, wong dia Rajanya kok. Dari segi materialnya saja, memangnya Indonesia punya uang kalau Sultan X sekarang ini juga minta semua ongkos itu dikembalikan kontan, termasuk hitungan inflasi dan bunga-berbunga bank selama 65 tahun?”.

Bertolak belakang dengan itu, di lain pihak, Sunan Pakubuwana dan Mangkunegara di Surakarta tidak serta merta bersedia bergabung dengan Republik Indonesia karena khawatir dilikuidasi mengingat Soekarno sudah terkenal paham sosialisnya saat itu. Penolakan kedua Raja Surakarta itu menimbulkan kemarahan besar di kalangan rakyat Surakarta sehingga meledaklah gerakan demonstrasi besar-besaran  yang dikenal dengan Gerakan Swapraja, menuntut agar Surakarta juga ikut bergabung mengikuti jejak saudaranya di Yogyakarta. Konon, sejak Gerakan Swapraja tersebut meledak, secara politis kedua Raja Surakarta itu sudah tidak berwibawa lagi di mata rakyat Surakarta, tinggal menjadi simbol kultural saja. Ningrat Mangkunegaran masih lumayan sebab belakang hari muncul Ibu Tien yang dipersunting Soeharto.

Kelima pemerintahan kolonial itu mengakui eksistensi Kerajaan Yogyakarta sebagai entitas politik berkedaulatan Negara, lengkap dengan segala kewenangannya untuk mengatur dirinya sendiri, maka sangat ironis jika Republik Indonesia yang lahir dari rahim Kerajaan Yogyakarta justru bersikap sebaliknya.

Merespon pandangan bahwa Beye hanya kesleo lidah, Ikrar Nusa Bakti berkata bahwa ucapan Beye itu by design, disengaja dan terencana, dalam rangka delegitimasi terkait dengan posisi Sultan HB X di Nasional Demokrat, gerakan yang oleh Beye dicurigai akan mengusung Sultan X maju di pilpres mendatang.

Entah mana yang benar, tulisan ini sekedar untuk mengingatkan anda yang sudah tahu, atau memberi tahu anda yang belum tahu dan terheran-heran kenapa Yogyakarta istimewa. Kronologi data sejarah lebih lengkap bisa dibaca melalui sumber di bawah ini, yang aku jadikan rujukan
| Tahta Untuk Rakyat | Wikipedia | Kompasiana |

BIAR NGGAK LUPA KENAPA ISTIMEWA (Bagian II)

Posted by OJRAT MUGIYONO Label: ,

Walaupun untuk saat ini masih boleh dibilang "terlalu jauh", ide untuk memisahkan diri sama sekali bukan mustahil untuk direalisasikan, dan sama sekali bukan tidak layak. Xanana Gusmao plus Fretilin yang dulu oleh rejim Soeharto dibilang bandit sekarang bisa bikin Timor Timur tuh? Soal dalam negerinya masih kacau itu urusan lain.


Walaupun di awalnya akan ada banyak persoalan sosiologis, demografis, geografis, ekonomi, hukum ketatanegaraan, hubungan internasional, dan militer yang perlu dipertimbangkan, secara teknis dan politis praktis bukanlah hil yang mustahal jika dalam konteks Yogyakarta sebagai kerajaan yang sudah merdeka jauh sebelum Indonesia merdeka dan belum pernah jatuh dalam kekuasaan kolonial Hindia Belanda, Sultan X berhak, dan berwenang bahkan, membuat dekrit baru yang isinya membatalkan dekrit integrasi yang dibuat Sultan IX, ayahnya. Jangan lupa, dekrit integrasi Sultan IX itu berlaku dua arah. Pertama, dalam konteks hubungan horisontal antar negara, itu adalah tawaran Sultan IX kepada Indonesia cq Presiden Soekarno untuk menjadikan satu seluruh wilayah geografis dan kedaulatan Kerajaan Yogyakarta, dan Indonesia yang saat itu baru berusia beberapa hari dengan 'mas kawin' berupa otonomi dan Sultan Yogya otomatis menjadi Gubernur Yogya melalui mekanisme penetapan, bukan pemilukada.

Kedua, ketika pinangan itu kemudian diterima oleh Indonesia, melalui penetapan Presiden Soekarno, dekrit tersebut langsung berlaku pula sebagai amanat bagi seluruh kawulo kerajaan Yogyakarta Hadiningrat untuk tunduk pada keputusan integrasi itu selama Yogyakarta masih otonom dan Sultan otomatis menjadi Gubernurnya melalui mekanisme penetapan. Ini artinya, maklumat dan amanat integrasi itu otomatis batal jika gubernurnya tidak melalui penetapan, meskipun tetap dimenangkan Sultan melalui pemilukada. Dengan kata lain esensi dekrit itu bukan soal jabatan Gubernur ada di tangan Sultan, tapi bagaimana mekanismenya sehingga Sultan memperoleh jabatan itu. Dengan begitu logika paling logisnya adalah: "Ketika nantinya pemerintah Indonesia ketok palu bahwa sistem pemilukada berlaku untuk gubernur Yogyakarta, seketika itu pula lah dekrit Sultan IX itu batal, dan dibatalkan oleh pemerintah Indonesia itu sendiri, sebab syarat integrasinya dilanggar (untuk tidak mengatakan dikhianati), berarti Yogyakarta sudah bukan bagian dari Indonesia lagi sehingga ketok palunya tidak mungkin direalisasikan di lapangan". Betul nggak, Mbul? Pikirmu kenapa Soeharto mengangkat Sultan IX menjadi Wakil Presiden. Takut kuwalat! Ketika Soeharto meminangnya lagi untuk periode berikutnya, Sultan HB IX menolak karena tidak setuju dengan prinsip otoriternya, dan mulai melihat perilaku korupsinya.

Wikipedia menulis:
Hamengkubuwono IX's election was not a surprise as he was a popular figure in Indonesia. He was also a civilian and his election to the Vice Presidency was hoped to complement Suharto's military background. Despite being officially elected in 1973, it can be said that Hamengkubuwono IX had been the de facto Vice President beforehand as he regularly assumed the leadership of the country whenever Suharto was out of the country. As Vice President, Hamengkubuwono IX was put in charge of welfare and was also given the duty of supervising economic development.

It was expected that the Suharto and Hamengkubuwono IX duet would be retained for another term. However, Hamengkubuwono IX had become disillusioned with Suharto's increasing authoritarianism and the increasing corruption.

These two elements were also recognized by protesters who had demanded that Suharto not stand for another term as President. These protests reached its peak in February 1978, when students of Bandung Technological Institute (ITB) published a book giving reasons as to why Suharto should not be elected President. In response, Suharto sent troops to take over the campus and issued a ban on the book.Hamengkubuwono could not accept what Suharto had done. In March 1978, Hamengkubuwono rejected his nomination as Vice President by the MPR. Suharto asked Hamengkubuwono to change his mind, but Hamengkubuwono continued to reject the offer and cited health as his reason for not accepting the nomination. Suharto took Hamengkubuwono IX's rejection personally and in his 1989 autobiography would claim credit for conceiving the 1 March General Offensive.

Sejelas itu kan logikanya, entah kenapa orang-orang berdasi perlente yang menyebut dirinya pakar itu nggak paham juga. Pahami perlawanan keras dan emosional rakyat Yogyakarta sekarang ini melalui perspektif kepatuhan kawulo kepada rajanya, khususnya titah Sultan HB IX. Sedikit menyimpang dari topik utama, ketika ditanya reporter TV kenapa tidak mau pergi, mbah Maridjan mengatakan, "Saya di sini karena perintah Sultan HB IX". Ketika didesak lagi dengan pertanyaan sama, "Sudah.. sudah.. itu saja.. saya di sini karena mematuhi perintah Sultan HB IX. Sudah, itu saja! Nggih!". Itu artinya mbah Maridjan hanya mau pergi kalau yang kasih perintah Sultan HB IX. Karena Sultan HB IX sudah keburu wafat sebelum sempat memerintahkan pergi,  mbah Maridjan bertekad menunaikan perintah itu sampai mati, dan sekarang beliau mati beneran dijemput wedus gembel demi kepatuhannya pada Sultan HB IX.

Kalau betul pemisahan Yogyakarta dari NKRI itu terjadi, melalui konsekuensi politis logis dari ketok palu tadi maupun dekrit Sultan X yang isinya membatalkan dekrit integrasi ayahnya, berlandaskan semangat anti pengkhianatan sebagaimana semangat yang ditunjukkan oleh sikap Gusti Prabu dengan cara mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPD Demokrat Yogyakarta,  tentu konsekuensi berikutnya adalah ambil kembali semua wilayah geografis yang sebelum muncul dekrit Sultan IX masih menjadi milik sah Kerajaan Yogyakarta, sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Staatsblad 1941, No. 47 antara Dr. Lucien Adam (mewakili Ratu Belanda dan Gubernur Jendral Hindia Belanda) dan Sultan Hamengubuwono IX; yang kemudian oleh Presiden Soekarno dijadikan dasar penandatanganan Piagam Penetapan Yogyakarta sebagai Propinsi berstatus Daerah Istimewa, menyambut baik dekrit integrasi Sultan IX.

Menurut catatan sejarah yang tertuang dalam dokumen Perjanjian Gianti (13 Februari 1755), sebagai hasil dari perang pemberontakan Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, wilayah Kerajaan Yogyakarta meliputi:

A. Kota Yogyakarta sekarang ini (peninggalan Kerajaan Mataram Tua), yang ketika itu disebut Nagari Ngayogyakarta

B. Wilayah Nagara Agung, terdiri darii:
    1. Pajang hingga Demak.
    2. Kedu di antara Kali Progo hingga Gunung Merbabu.
    3. Bagelen di antara Kali Bagawanta dan Kali Progo.
    4. Pajang Timur, dari Sungai Samin sampai Gunungkidul.

C. Wilayah Manca Negara, terdiri dari:
    1. Madiun kota
    2. Magetan
    3. Caruban
    4. Pacitan, daerah asal SBY
    5. Kediri
    6. Kertosono
    7. Tulungagung
    8. Surabaya, termasuk sebagiannya yang pernah direbut Jepang lalu
        dikembalikan lagi setelah kalah di Perang Dunia II, yaitu Mojokerto.
    9. Rembang
  10. Semarang
  11. Grobogan

Semua wilayah kerajaan, anda bisa lihat data di atas, terpencar-pencar. Itu terkait erat dengan pasang-surut wilayah geografis dalam sejarah berikutnya, yaitu Perang Diponegoro (Putera Sulung Sultan HB III). Ada dua versi mengenai sejarah awal perang tersebut, tapi keduanya masih berpangkal sama, yaitu alasan sikap Pangeran Diponegoro (RM Ontowiryo) yang tidak mau dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta (dan diberi gelar HB IV tentu saja) oleh ayahnya. Versi pertama mengatakan penolakan itu karena merasa tahu diri bahwa meskipun dirinya Putera Sulung, ibunya bukan Permaisuri. Dia khawatir bahwa penobatannya itu bisa menimbulkan perpecahan di kalangan internal Keraton, lalu mempersilahkan saudaranya yang lahir dari rahim Permaisuri menjadi Raja Yogyakarta.

Versi kedua mengatakan bahwa alasan itu hanya kamuflase saja, untuk menutupi alasan dia yang sesungguhnya, yaitu tidak mau menerima tekanan dari pemerintahan kolonial berupa berbagai macam konsesi yang dinilainya terlalu membebani rakyat dan menyebabkan Yogyakarta menjadi kerajaan boneka Hindia Belanda. Tidak lama kemudian Pangeran Diponegoro memilih keluar dari lingkungan istana untuk memberi kesempatan saudaranya yang menurut dia lebih berhak menjadi Raja. Dia sendiri memilih hidup menyendiri sambil berolah kanuragan di Tegalrejo (sekarang Monumen Diponegoro).

Tentara kolonial, di lain pihak, memandang sikap menolak penobatan itu sebagai pembangkangan, dan menuduh secara terbuka bahwa sikapnya yang mengasingkan diri itu sebagai bagian dari rencana menyusun pemberontakan. Pada tanggal 20 Juni 1825, tentara kolonial Belanda benar-benar menyerbu dan menghantam Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, maka pecahlah perang besar lima tahun itu. Sejarah mencatat bahwa hampir semua rakyat di Tanah Jawa mendukung Pangeran Diponegoro, sehingga perang itu berlangsung begitu lama, karena di mata rakyat Diponegoro tetaplah seorang Sultan, terlebih lagi setelah tahu bahwa sikapnya yang menolak dinobatkan menjadi Raja itu demi berpihak ke rakyatnya.

Lima tahun Perang besar di seluruh Tanah Jawa pada tahun 1825 - 1830 antara Pangeran Diponegoro melawan Kolonial Belanda berakhir dengan ditangkap dan diasingkannya Pangeran itu, hingga meninggal dan dimakamkan, di Makasar. Sejarah terus berjalan hingga Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta yang disertai klaim bahwa wilayahnya mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda. Dokumen perjanjian  Staatsblad 1941, No. 47 tersebut di atas membuktikan bahwa hingga tanggal proklamasi Indonesia merdeka itu pun Yogyakarta belum pernah jatuh di bawah penjajahan Hindia Belanda. Dokumen perjanjian tersebut membagi seluruh Nusantara ini menjadi dua wilayah besar, yaitu Wilayah Milik Kerajaan Belanda, dan Wilayah Milik Kerajaan Yogyakarta.

Dekrit Sultan HB IX:
KAMI HAMENGKU BUWONO IX, SULTAN NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENJATAKAN:

1. BAHWA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT JANG BERSIFAT KERADJAAN ADALAH DAERAH ISTIMEWA DARI NEGARA REPUBLIK INDONESIA....2. BAHWA KAMI SEBAGAI KEPALA DAERAH MEMEGANG SEGALA KEKUASAAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, DAN OLEH KARENA ITU BERHUBUNG DENGAN KEADAAN DEWASA INI, SEGALA URUSAN PEMERINTAHAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MULAI SAAT INI BERADA DITANGAN KAMI DAN KEKUASAAN-KEKUASAAN LAINNJA KAMI PEGANG SELURUHNJA.

3. BAHWA, PERHUBUNGAN ANTARA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT DENGAN PEMERINTAH PUSAT REPUBLIK INDONESIA BERSIFAT LANGSUNG DAN KAMI BERTANGGUNG-DJAWAB ATAS NEGERI KAMI LANGSUNG KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

KAMI MEMERINTAHKAN SUPAJA SEGENAP PENDUDUK DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENGINDAHKAN AMANAT KAMI INI.

NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, 28 PUASA, EHE 1976 (5 SEPTEMBER 1945).

HAMENGKU BUWONO

Ketika Sultan HB IX menerbitkan dekrit integrasi, Staatsblad 1941, No. 47 adalah dokumen perjanjian terakhir antara Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat dan Kerajaan Belanda. Dengan demikian, jika betul pemisahan ini terjadi nantinya, dokumen Staatsblad 1941, No. 47 menjadi acuan untuk menentukan mana wilayah Kerajaan Yogyakarta, dan mana wilayah Republik Indonesia. Betul? Soal minta ganti rugi uang akibat kerugian moril dan materiil seperti yang dibilang Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di Metro TV tempo hari itu nggak usah terlalu diharapkan lah, saya yakin beliau cuma "guyon sajak ngece", lha duit Indonesia kan habis ditilep kasus Gayus, Century, Lapindo dan banyak makhluk lain sejenisnya tuh, piye jal? Opo gelem dibayar godong telo kaspo?

aku kawulo yogya

Posted by OJRAT MUGIYONO Label: , ,

Baiklah, aku memang butuh keyakinan terhadap diri dan bumi yang kupijak. kini aku hanya merantau untuk bercerita tentang negeriku sambil mencari nafkah. Ini Ceritanya :

Menurut catatan sejarah yang tertuang dalam dokumen Perjanjian Gianti (13 Februari 1755), sebagai hasil dari perang pemberontakan Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, wilayah Kerajaan Yogyakarta meliputi:
A. Kota Yogyakarta sekarang ini (peninggalan Kerajaan Mataram Tua), yang ketika itu disebut Nagari Ngayogyakarta
B. Wilayah Nagara Agung, terdiri darii:
    1. Pajang hingga Demak.
    2. Kedu di antara Kali Progo hingga Gunung Merbabu.
    3. Bagelen di antara Kali Bagawanta dan Kali Progo.
    4. Pajang Timur, dari Sungai Samin sampai Gunungkidul.
C. Wilayah Manca Negara, terdiri dari:
    1. Madiun kota
    2. Magetan
    3. Caruban
    4. Pacitan, daerah asal SBY
    5. Kediri
    6. Kertosono
    7. Tulungagung
    8. Surabaya, termasuk sebagiannya yang pernah direbut Jepang lalu
        dikembalikan lagi setelah kalah di Perang Dunia II, yaitu Mojokerto.
    9. Rembang
  10. Semarang
  11. Grobogan





Nah ndilalah kersane Allah, aku lahir ning Grobogan (tepatnya Desa Sambak Danyang Purwodadi Grobogan). Yo wis to Yogya ben dipimpin karo sing ngerso dalem :
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrakhman Sayidin Pranotogomo Kholifatullah Ingkang Kaping Songo.
 Ngono kuwi ceritane.