BIAR NGGAK LUPA KENAPA ISTIMEWA (Bagian I)

Posted by OJRAT MUGIYONO

Keraton Yogyakarta sudah berstatus Daerah Istimewa  jauh sebelum Indonesia merdeka. Yogyakarta diberi status Negara Bagian, bukan wilayah jajahan atau daerah taklukan, oleh: 

1. Kolonialisme VOC,
2. Kolonialisme Hindia Perancis (di bawah Kerajaan Perancis),
3. Kolonialisme Hindia Timur (di bawah Kerajaan Inggris),
4. Kolonialisme Hindia Belanda (di bawah Kerajaan Belanda), dan
5. Angkatan Darat XVI Jepang (di bawah Kekaisaran Jepang ).

Oleh Belanda, status Daerah Istimewa itu disebut Zelfbestuurende Lanschappen, dan oleh Jepang disebut Koti (Kooti). Sejak Indonesia diproklamasikan merdeka pada 1945, merespon kekalahan Jepang di PD II,  tentara kolonial Belanda datang untuk berusaha mengambil kembali wilayah yang secara politik dan militer pernah dikuasainya dulu, sebelum dipukul mundur Jepang.  Pada saat Belanda dipukul mundur Jepang, Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta masih bersatusVoorstenlanden (wilayah di luar kekuasaan Hindia Belanda), dan status itu tidak diganggu gugat oleh Angkatan Darat XVI Jepang atas perintah Kaisarnya. Ketika kalah di PD II pun Angkatan Darat XVI Jepang menyerahkan diri dan melucuti persenjataannya bukan ke Belanda, apalagi Indonesia, tapi ke Raja Yogyakarta (HB IX).Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta,  baru diakui dunia lewat PBB setelah kekuatan diplomasi dan hubungan internasional Sultan HB IX mampu menekan pemerintahan kolonial. Konsekuensi dari pengakuan dunia itu adalah penarikan mundur tentara kolonial Belanda dari Kerajaan Yogyakarta.

Bertolak belakang dengan saudaranya di Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan), di mata pemerintahan kolonial Belanda sepanjang sejarahnya, Yogyakarta dipandang sebagai Kerajaan miskin yang lebih banyak melahirkan perang pemberontakan ketimbang karya sastera dan perdagangan. Insiden Ontowiryo (Pangeran Diponegoro, putra sulung Sultan HB III), misalnya, menghasilkan perang besar di Tanah Jawa selama lima tahun (1825 – 1830)  melawan kolonial Belanda. Berdirinya Keraton Yogyakarta itu sendiri (lewat Perjanjian Giyanti 1755) adalah hasil pemberontakan fisik Sultan HB I terhadap kolonial sehingga eksistensi Keraton itu sendiri adalah simbol perang fisik anti kolonialisme. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Keraton Yogyakarta lebih suka mewarisi semangat perang anti kolonial dari leluhurnya, Sultan Agung, lebih memilih jalur perang fisik, ketimbang lewat kesusasteraan; berbeda dengan para saudaranya di Surakarta yang menghabiskan waktunya untuk berdagang dan memproduksi banyak karya sastra besar. Mangkunegaran menghasilkan karya sastra besar di era Mangkunegara IV dan VI (Wulangreh dan Serat Kalathida misalnya), dan wilayah Kasunanan di era Pakubuwono X kaya raya karena menguasai perdagangan gula saat itu.

Konsisten dengan karakter anti kolonial yang melahirkan Kerajaan Yogyakarta, Sultan HB IX, sejak awal penobatannya, telah dengan terang benderang menunjukkan sikap pro republiken kepada Belanda, dan puncaknya adalah ketika wilayah Kerajaan Yogyakarta dipinjamkan kepada Soekarno-Hatta untuk dijadikan Ibu Kota Republik Indonesia, dipersilahkan menempati Gedung Negara untuk dijadikan Istana Negara.

Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) berkata di Metro TV:
“Sultan HB IX merogoh kantong pribadinya 5 juta gulden untuk mengongkosi biaya operasional selama Yogyakarta dijadikan Ibukota Republik Indonesia, untuk ongkos perang dan diplomasi politik, dan menyantuni keluarga Soekarno ketika Soekarno-Hatta ditangkap Belanda. Itu belum termasuk fasilitas yang sekarang disebut milik pemerintah, misalnya Universitas Gadjah Mada. Jangan lupa, sebelum Kerajaan Yogyakarta ini berintegrasi kan seluruh tanah di Yogya ini milik Sultan, wong dia Rajanya kok. Dari segi materialnya saja, memangnya Indonesia punya uang kalau Sultan X sekarang ini juga minta semua ongkos itu dikembalikan kontan, termasuk hitungan inflasi dan bunga-berbunga bank selama 65 tahun?”.

Bertolak belakang dengan itu, di lain pihak, Sunan Pakubuwana dan Mangkunegara di Surakarta tidak serta merta bersedia bergabung dengan Republik Indonesia karena khawatir dilikuidasi mengingat Soekarno sudah terkenal paham sosialisnya saat itu. Penolakan kedua Raja Surakarta itu menimbulkan kemarahan besar di kalangan rakyat Surakarta sehingga meledaklah gerakan demonstrasi besar-besaran  yang dikenal dengan Gerakan Swapraja, menuntut agar Surakarta juga ikut bergabung mengikuti jejak saudaranya di Yogyakarta. Konon, sejak Gerakan Swapraja tersebut meledak, secara politis kedua Raja Surakarta itu sudah tidak berwibawa lagi di mata rakyat Surakarta, tinggal menjadi simbol kultural saja. Ningrat Mangkunegaran masih lumayan sebab belakang hari muncul Ibu Tien yang dipersunting Soeharto.

Kelima pemerintahan kolonial itu mengakui eksistensi Kerajaan Yogyakarta sebagai entitas politik berkedaulatan Negara, lengkap dengan segala kewenangannya untuk mengatur dirinya sendiri, maka sangat ironis jika Republik Indonesia yang lahir dari rahim Kerajaan Yogyakarta justru bersikap sebaliknya.

Merespon pandangan bahwa Beye hanya kesleo lidah, Ikrar Nusa Bakti berkata bahwa ucapan Beye itu by design, disengaja dan terencana, dalam rangka delegitimasi terkait dengan posisi Sultan HB X di Nasional Demokrat, gerakan yang oleh Beye dicurigai akan mengusung Sultan X maju di pilpres mendatang.

Entah mana yang benar, tulisan ini sekedar untuk mengingatkan anda yang sudah tahu, atau memberi tahu anda yang belum tahu dan terheran-heran kenapa Yogyakarta istimewa. Kronologi data sejarah lebih lengkap bisa dibaca melalui sumber di bawah ini, yang aku jadikan rujukan
| Tahta Untuk Rakyat | Wikipedia | Kompasiana |

0 komentar:

Posting Komentar