BIAR NGGAK LUPA KENAPA ISTIMEWA (Bagian II)

Posted by OJRAT MUGIYONO Label: ,

Walaupun untuk saat ini masih boleh dibilang "terlalu jauh", ide untuk memisahkan diri sama sekali bukan mustahil untuk direalisasikan, dan sama sekali bukan tidak layak. Xanana Gusmao plus Fretilin yang dulu oleh rejim Soeharto dibilang bandit sekarang bisa bikin Timor Timur tuh? Soal dalam negerinya masih kacau itu urusan lain.


Walaupun di awalnya akan ada banyak persoalan sosiologis, demografis, geografis, ekonomi, hukum ketatanegaraan, hubungan internasional, dan militer yang perlu dipertimbangkan, secara teknis dan politis praktis bukanlah hil yang mustahal jika dalam konteks Yogyakarta sebagai kerajaan yang sudah merdeka jauh sebelum Indonesia merdeka dan belum pernah jatuh dalam kekuasaan kolonial Hindia Belanda, Sultan X berhak, dan berwenang bahkan, membuat dekrit baru yang isinya membatalkan dekrit integrasi yang dibuat Sultan IX, ayahnya. Jangan lupa, dekrit integrasi Sultan IX itu berlaku dua arah. Pertama, dalam konteks hubungan horisontal antar negara, itu adalah tawaran Sultan IX kepada Indonesia cq Presiden Soekarno untuk menjadikan satu seluruh wilayah geografis dan kedaulatan Kerajaan Yogyakarta, dan Indonesia yang saat itu baru berusia beberapa hari dengan 'mas kawin' berupa otonomi dan Sultan Yogya otomatis menjadi Gubernur Yogya melalui mekanisme penetapan, bukan pemilukada.

Kedua, ketika pinangan itu kemudian diterima oleh Indonesia, melalui penetapan Presiden Soekarno, dekrit tersebut langsung berlaku pula sebagai amanat bagi seluruh kawulo kerajaan Yogyakarta Hadiningrat untuk tunduk pada keputusan integrasi itu selama Yogyakarta masih otonom dan Sultan otomatis menjadi Gubernurnya melalui mekanisme penetapan. Ini artinya, maklumat dan amanat integrasi itu otomatis batal jika gubernurnya tidak melalui penetapan, meskipun tetap dimenangkan Sultan melalui pemilukada. Dengan kata lain esensi dekrit itu bukan soal jabatan Gubernur ada di tangan Sultan, tapi bagaimana mekanismenya sehingga Sultan memperoleh jabatan itu. Dengan begitu logika paling logisnya adalah: "Ketika nantinya pemerintah Indonesia ketok palu bahwa sistem pemilukada berlaku untuk gubernur Yogyakarta, seketika itu pula lah dekrit Sultan IX itu batal, dan dibatalkan oleh pemerintah Indonesia itu sendiri, sebab syarat integrasinya dilanggar (untuk tidak mengatakan dikhianati), berarti Yogyakarta sudah bukan bagian dari Indonesia lagi sehingga ketok palunya tidak mungkin direalisasikan di lapangan". Betul nggak, Mbul? Pikirmu kenapa Soeharto mengangkat Sultan IX menjadi Wakil Presiden. Takut kuwalat! Ketika Soeharto meminangnya lagi untuk periode berikutnya, Sultan HB IX menolak karena tidak setuju dengan prinsip otoriternya, dan mulai melihat perilaku korupsinya.

Wikipedia menulis:
Hamengkubuwono IX's election was not a surprise as he was a popular figure in Indonesia. He was also a civilian and his election to the Vice Presidency was hoped to complement Suharto's military background. Despite being officially elected in 1973, it can be said that Hamengkubuwono IX had been the de facto Vice President beforehand as he regularly assumed the leadership of the country whenever Suharto was out of the country. As Vice President, Hamengkubuwono IX was put in charge of welfare and was also given the duty of supervising economic development.

It was expected that the Suharto and Hamengkubuwono IX duet would be retained for another term. However, Hamengkubuwono IX had become disillusioned with Suharto's increasing authoritarianism and the increasing corruption.

These two elements were also recognized by protesters who had demanded that Suharto not stand for another term as President. These protests reached its peak in February 1978, when students of Bandung Technological Institute (ITB) published a book giving reasons as to why Suharto should not be elected President. In response, Suharto sent troops to take over the campus and issued a ban on the book.Hamengkubuwono could not accept what Suharto had done. In March 1978, Hamengkubuwono rejected his nomination as Vice President by the MPR. Suharto asked Hamengkubuwono to change his mind, but Hamengkubuwono continued to reject the offer and cited health as his reason for not accepting the nomination. Suharto took Hamengkubuwono IX's rejection personally and in his 1989 autobiography would claim credit for conceiving the 1 March General Offensive.

Sejelas itu kan logikanya, entah kenapa orang-orang berdasi perlente yang menyebut dirinya pakar itu nggak paham juga. Pahami perlawanan keras dan emosional rakyat Yogyakarta sekarang ini melalui perspektif kepatuhan kawulo kepada rajanya, khususnya titah Sultan HB IX. Sedikit menyimpang dari topik utama, ketika ditanya reporter TV kenapa tidak mau pergi, mbah Maridjan mengatakan, "Saya di sini karena perintah Sultan HB IX". Ketika didesak lagi dengan pertanyaan sama, "Sudah.. sudah.. itu saja.. saya di sini karena mematuhi perintah Sultan HB IX. Sudah, itu saja! Nggih!". Itu artinya mbah Maridjan hanya mau pergi kalau yang kasih perintah Sultan HB IX. Karena Sultan HB IX sudah keburu wafat sebelum sempat memerintahkan pergi,  mbah Maridjan bertekad menunaikan perintah itu sampai mati, dan sekarang beliau mati beneran dijemput wedus gembel demi kepatuhannya pada Sultan HB IX.

Kalau betul pemisahan Yogyakarta dari NKRI itu terjadi, melalui konsekuensi politis logis dari ketok palu tadi maupun dekrit Sultan X yang isinya membatalkan dekrit integrasi ayahnya, berlandaskan semangat anti pengkhianatan sebagaimana semangat yang ditunjukkan oleh sikap Gusti Prabu dengan cara mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPD Demokrat Yogyakarta,  tentu konsekuensi berikutnya adalah ambil kembali semua wilayah geografis yang sebelum muncul dekrit Sultan IX masih menjadi milik sah Kerajaan Yogyakarta, sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Staatsblad 1941, No. 47 antara Dr. Lucien Adam (mewakili Ratu Belanda dan Gubernur Jendral Hindia Belanda) dan Sultan Hamengubuwono IX; yang kemudian oleh Presiden Soekarno dijadikan dasar penandatanganan Piagam Penetapan Yogyakarta sebagai Propinsi berstatus Daerah Istimewa, menyambut baik dekrit integrasi Sultan IX.

Menurut catatan sejarah yang tertuang dalam dokumen Perjanjian Gianti (13 Februari 1755), sebagai hasil dari perang pemberontakan Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, wilayah Kerajaan Yogyakarta meliputi:

A. Kota Yogyakarta sekarang ini (peninggalan Kerajaan Mataram Tua), yang ketika itu disebut Nagari Ngayogyakarta

B. Wilayah Nagara Agung, terdiri darii:
    1. Pajang hingga Demak.
    2. Kedu di antara Kali Progo hingga Gunung Merbabu.
    3. Bagelen di antara Kali Bagawanta dan Kali Progo.
    4. Pajang Timur, dari Sungai Samin sampai Gunungkidul.

C. Wilayah Manca Negara, terdiri dari:
    1. Madiun kota
    2. Magetan
    3. Caruban
    4. Pacitan, daerah asal SBY
    5. Kediri
    6. Kertosono
    7. Tulungagung
    8. Surabaya, termasuk sebagiannya yang pernah direbut Jepang lalu
        dikembalikan lagi setelah kalah di Perang Dunia II, yaitu Mojokerto.
    9. Rembang
  10. Semarang
  11. Grobogan

Semua wilayah kerajaan, anda bisa lihat data di atas, terpencar-pencar. Itu terkait erat dengan pasang-surut wilayah geografis dalam sejarah berikutnya, yaitu Perang Diponegoro (Putera Sulung Sultan HB III). Ada dua versi mengenai sejarah awal perang tersebut, tapi keduanya masih berpangkal sama, yaitu alasan sikap Pangeran Diponegoro (RM Ontowiryo) yang tidak mau dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta (dan diberi gelar HB IV tentu saja) oleh ayahnya. Versi pertama mengatakan penolakan itu karena merasa tahu diri bahwa meskipun dirinya Putera Sulung, ibunya bukan Permaisuri. Dia khawatir bahwa penobatannya itu bisa menimbulkan perpecahan di kalangan internal Keraton, lalu mempersilahkan saudaranya yang lahir dari rahim Permaisuri menjadi Raja Yogyakarta.

Versi kedua mengatakan bahwa alasan itu hanya kamuflase saja, untuk menutupi alasan dia yang sesungguhnya, yaitu tidak mau menerima tekanan dari pemerintahan kolonial berupa berbagai macam konsesi yang dinilainya terlalu membebani rakyat dan menyebabkan Yogyakarta menjadi kerajaan boneka Hindia Belanda. Tidak lama kemudian Pangeran Diponegoro memilih keluar dari lingkungan istana untuk memberi kesempatan saudaranya yang menurut dia lebih berhak menjadi Raja. Dia sendiri memilih hidup menyendiri sambil berolah kanuragan di Tegalrejo (sekarang Monumen Diponegoro).

Tentara kolonial, di lain pihak, memandang sikap menolak penobatan itu sebagai pembangkangan, dan menuduh secara terbuka bahwa sikapnya yang mengasingkan diri itu sebagai bagian dari rencana menyusun pemberontakan. Pada tanggal 20 Juni 1825, tentara kolonial Belanda benar-benar menyerbu dan menghantam Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, maka pecahlah perang besar lima tahun itu. Sejarah mencatat bahwa hampir semua rakyat di Tanah Jawa mendukung Pangeran Diponegoro, sehingga perang itu berlangsung begitu lama, karena di mata rakyat Diponegoro tetaplah seorang Sultan, terlebih lagi setelah tahu bahwa sikapnya yang menolak dinobatkan menjadi Raja itu demi berpihak ke rakyatnya.

Lima tahun Perang besar di seluruh Tanah Jawa pada tahun 1825 - 1830 antara Pangeran Diponegoro melawan Kolonial Belanda berakhir dengan ditangkap dan diasingkannya Pangeran itu, hingga meninggal dan dimakamkan, di Makasar. Sejarah terus berjalan hingga Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta yang disertai klaim bahwa wilayahnya mencakup seluruh bekas jajahan Hindia Belanda. Dokumen perjanjian  Staatsblad 1941, No. 47 tersebut di atas membuktikan bahwa hingga tanggal proklamasi Indonesia merdeka itu pun Yogyakarta belum pernah jatuh di bawah penjajahan Hindia Belanda. Dokumen perjanjian tersebut membagi seluruh Nusantara ini menjadi dua wilayah besar, yaitu Wilayah Milik Kerajaan Belanda, dan Wilayah Milik Kerajaan Yogyakarta.

Dekrit Sultan HB IX:
KAMI HAMENGKU BUWONO IX, SULTAN NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENJATAKAN:

1. BAHWA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT JANG BERSIFAT KERADJAAN ADALAH DAERAH ISTIMEWA DARI NEGARA REPUBLIK INDONESIA....2. BAHWA KAMI SEBAGAI KEPALA DAERAH MEMEGANG SEGALA KEKUASAAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, DAN OLEH KARENA ITU BERHUBUNG DENGAN KEADAAN DEWASA INI, SEGALA URUSAN PEMERINTAHAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MULAI SAAT INI BERADA DITANGAN KAMI DAN KEKUASAAN-KEKUASAAN LAINNJA KAMI PEGANG SELURUHNJA.

3. BAHWA, PERHUBUNGAN ANTARA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT DENGAN PEMERINTAH PUSAT REPUBLIK INDONESIA BERSIFAT LANGSUNG DAN KAMI BERTANGGUNG-DJAWAB ATAS NEGERI KAMI LANGSUNG KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

KAMI MEMERINTAHKAN SUPAJA SEGENAP PENDUDUK DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENGINDAHKAN AMANAT KAMI INI.

NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, 28 PUASA, EHE 1976 (5 SEPTEMBER 1945).

HAMENGKU BUWONO

Ketika Sultan HB IX menerbitkan dekrit integrasi, Staatsblad 1941, No. 47 adalah dokumen perjanjian terakhir antara Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat dan Kerajaan Belanda. Dengan demikian, jika betul pemisahan ini terjadi nantinya, dokumen Staatsblad 1941, No. 47 menjadi acuan untuk menentukan mana wilayah Kerajaan Yogyakarta, dan mana wilayah Republik Indonesia. Betul? Soal minta ganti rugi uang akibat kerugian moril dan materiil seperti yang dibilang Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di Metro TV tempo hari itu nggak usah terlalu diharapkan lah, saya yakin beliau cuma "guyon sajak ngece", lha duit Indonesia kan habis ditilep kasus Gayus, Century, Lapindo dan banyak makhluk lain sejenisnya tuh, piye jal? Opo gelem dibayar godong telo kaspo?

0 komentar:

Posting Komentar